Spesial: “ROAD to MAHAMERU 3.676 mdpl” Bagian 2: Pendakian Yang Menyisakan HIKMAH dan PELAJARAN

CARA TERBAIK MELAWAN DINGIN ADALAH DENGAN BERGERAK.
Rasa dingin di sepanjang jalur pendakian memang tidak sedingin sewaktu musim kemarau. Tapi, walaupun begitu rasa dinginnya masih mampu menusuk tulang dan membuat gigi gemeretak kedinginan ketika hari mulai gelap. Tidak mungkin bagi kami di malam menjelang pendakian membuat api unggun, karena semua ranting dan rumput kering telah basah oleh air hujan yang mengguyur sejak sebelum maghrib.

Maka, cara yang terbaik untuk mengatasi rasa dingin adalah dengan terus bergerak mendaki. Karena tubuh kita akan menghangat dengan bergerak.

Saya pun sampai pada kesimpulan bahwa cara terbaik keluar dari penderitaan hidup adalah dengan terus bergerak mewujudkan impian, untuk memperjuangkan hidup yang lebih baik. Seperti layaknya air, jika ia hanya menggenang dan tidak mengalir maka akan menjadi sumber penyakit.

DO’A ADALAH CARA TERBAIK UNTUK MENGALAHKAN KETIDAK MUNGKINAN
Sejujurnya saya sempat putus asa ketika di berada di lereng mahameru. Tepatnya di sepertiga terakhir mendekati puncak. Apa sebabnya? Karena di titik itu saya berada di puncak kelelahan, puncak ketakutan dan puncak kejenuhan.

Waktu itu saya benar-benar berada dalam ketakutan yang sangat luar biasa. Disamping sebelumnya tidak pernah mendaki gunung apapun, saya merasakan sangat dekat sekali dengan kematian (mungkin yang lain menganggap hal itu biasa saja).

Bayangkan saja di tengah kondisi yang gelap, berada di kemiringan 45 derajat dengan kedua kaki berpijak pada pasir labil yang setiap saat melorot, dan di tanjakan depan sana tersebar batu-batu sebesar kepalan tangan bahkan ada yang sebesar kepala, dan sesekali batu-batu itu menggelinding ke bawah. Sungguh membuat saya bergidik ngeri kalau saja batu itu mengenai kepala, apalagi saya juga sempat menghentikan dengan tangan saya batu sebesar kepala yang menggelinding cepat di sebelah kiri. Padahal di bawah sana berjajar puluhan pendaki.

Ketakutan yang berikutnya adalah saya khawatir terpeleset kebawah atau terpelanting ke sisi curam di sebelah kiri. Di ketinggian seperti itu, melihat ke bawah saja membuat nyali saya ciut dan langsung merinding. Saya waktu itu merasa takut, kalau-kalau akhirnya saya benar-benar terpeleset dan jatuh menggelinding ke bawah.

Apalagi ini adalah gunung berapi yang masih aktif, bagaimana kalau tiba-tiba aktivitas vulkanisnya meningkat dan menyebabkan gempa di saat kami masih merayap di lereng terjalnya. Atau bagaimana kalau ada gas beracun yang dibawa oleh angin dan berhembus ke arah kami. Astaghfirullah ...

Di sepertiga terakhir mendekati puncak itulah putus asa mulai menguasai hati. Bagaimana tidak, waktu itu tubuh saya terasa lemas, kaki sudah gemetaran untuk dipaksa menanjak, sementara di saat seperti itu saya terjebak di trek yang menurut saya tersulit karena sangat licin dan berkali-kali tergelincir ke bawah, mungkin hampir 30 menit.

Ketakutan juga mulai membesar saat saya ingat bahwa tadi pagi ketika perjalanan menuju ke Ranu Pani batal membeli makan pagi karena nasi di warung belum matang. Beruntung di perjalanan ada yang memberi pisang, jadi praktis pagi hanya makan pisang beberapa biji dan siang di ranukumbolo juga makan pisang lagi hanya beberapa biji, plus sepotong biskuit coklat dan 3 sendok nasi pemberian teman sewaktu di Kalimati. Tidak ada makan berat sama sekali. Ya Allah, benar-benar waktu itu berada di puncak ketakutan.

Di saat berhenti menenangkan diri seperti itu, teringat prasasti penanda dari para pendaki untuk temannya-temannya yang meninggal atau hilang selama pendakian di sepanjang perjalanan mulai Ranu Kumbolo, Kalimati hingga Arcopodo. Beberapa diantaranya sempat saya baca namanya, daerah asal dan juga tanggal meninggal atau hilangnya pendaki tersebut.

Juga disaat seperti itu teringat pula wajah ayah dan ibu, teringat rumah dan teringat adik. Sambil membayangkan, pasti jam sekarang ini mereka sedang tidur terlelap. Saya juga teringat betapa sampai detik ini saya sebagai anak selalu mengecewakan orangtua. Semua impian yang pernah saya janjikan kepada mereka semunya telah gagal saya buktikan. Bibir ini tak henti-hentinya memohon kepada Allah di gelap gulitanya malam di lereng dengan kemiringan 45derajat. Dengan lirih berkali-kali aku ucapkan, ”Ya Allah berikan lagi aku kesempatan untuk menjadi anak kebanggaan orang tua, Ya Allah berilah kesempatan pada ayah dan ibuku melihat anaknya sukses.” Dan ucapan-ucapan senada dengan itu.

Komitmen untuk menjadi semakin baik dan semakin sholeh juga terucap di atas sana. Saya berjanji untuk tidak lagi bermalas-malasan dengan kewajiban dan perintah dari Allah. Sungguh itu juga menjadi moment yang sangat dekat sekali dengan Allah karena membayangkan maut yang di depan mata.

Akhirnya, saat lelah sedikit berkurang. Saya mencoba melangkah lagi dengan kaki yang gemetar dan tenaga sisa. Karena berhenti terlalu lama dengan hembusan angin yang dingin menusuk tulang akan membuat kalori yang terbakar juga semakin banyak. Aku kejar rekan yang ada di depan dan kupanggil untuk berhenti. Alhamdulillah, darinya saya mendapat 3 butir kurma.

Di titik ini, saya kembali menguatkan tekad. Karena sukses itu adalah menyelesaikan apa yang sudah kita mulai. Saya harus selesaikan sampai ke puncak. Saya tidak boleh pulang sebagai orang yang kalah. Sejenak sebelum kembali mendaki saya berdo’a kepada Allah agar saya diberi kekuatan untuk menyelesaikan pendakian. Saya juga memohon agar pijakan kaki saya dikuatkan. Dan Allahu Akbar... setelah memaksa melangkah sampai 3 langkah, saya mendapati tenaga saya pulih kembali. Dan anehnya pijakan saya tidak banyak merosot lagi (kalaupun merosot ke bawah tidak separah sebelumnya), bahkan hingga sampai ke puncak. Dari situlah saya terpesona dengan kekuatan do’a. Alhamdulillah.

Jadi saya mengambil banyak pelajaran disini, ketika kita mendaki Mahameru kita akan menjadi dekat dengan Allah dan banyak-banyak berdo’a kepadanya. Dan begitu juga dengan Perjalanan Sukses, ketika kita memiliki impian yang besar dalam hidup maka impian itu akan membuat kita banyak-banyak berdo’a. Dan ingatlah sekali bahwa berdo’a itu adalah ibadah, dan semua ibadah adalah berpahala.

Tulisan lebih lengkap ada disini
Daftar Isi