Menaklukkan Mahameru, kami sadar akan konsekuensinya. Berarti
kami harus meninggalkan ongkang-ongkang kaki di rumah, bersantai di kursi malas
sambil memindah-mindah channel TV dengan remote control di tangan, tanpa perlu
khawatir dengan hujan, badai atau apapun yang terjadi di luar sana. Menaklukkan
puncak itu berarti kami harus meninggalkan keluarga barang sejenak, yang mana
biasanya di saat liburan seperti ini kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk
bercengkerama dengan keluarga.
Kami juga sadar bahwa selama pendakian harus mau makan dengan
makanan seadanya. Kami harus berpisah dengan nikmatnya makanan di rumah. Tidak mungkin
kami berpikir tentang makanan favorit, makanan enak atau semacam sate, gule,
bakso, soto, mie ayam dan semisalnya. Yang ada hanyalah makanan-makanan praktis
dan ringan yang tinggi kalori. Malah dalam perjalanan itu kami juga harus
menghemat air.
Oh iya ini juga, kami pun harus rela berkotor-kotor ria di
alam bebas. Karena tidak ada agenda mandi atau bersih-bersih badan selama
perjalanan, salah satu sebabnya karena susahnya mencari air. Kalaupun ada, kami
pun tidak akan bisa merasakan nikmatnya mandi karena dinginnya air dan suhu
disana akan membuat kami tersiksa. Jadi jangan pernah bermimpi melihat
penampilan terbaik selama di gunung.
Ternyata bukan hanya itu saja pengorbanannya. Setelah
pendakian kami harus siap menanggung rasa sakit di sekujur badan akibat
perjalanan yang berat dan melelahkan.
Itulah pengorbanan untuk menaklukkan Mahameru.
Akan tetapi, tanpa keluar dari kenyamanan itu kami tidak akan
pernah sampai pada ketinggian apapun. Dan kami tidak akan pernah menaklukkan
puncak apapun.
Saya menganggap bahwa perjuangan sukses, perjuangan menjadi
hamba terbaik di sisi Allah dan perjuangan untuk menikmati hidup yang penuh
keberkahan, prinsip dasarnya tidak pernah jauh berbeda dengan penaklukan
Mahameru. Semua pencapaian tertinggi selalu dimulai dari keputusan untuk KELUAR
dari ZONA NYAMAN.
Tulisan lebih lengkap ada disini
Daftar Isi